Wednesday, June 04, 2008

2 Manusia Super Di Jembatan Setiabudi

Tanpa disadari terkadang sikap apatis menyertai langkah kaki mengarungi utk mencoba menaklukkan ibukota negeri ini. Semoga kita selalu di-ingatkan.

Sekedar bebagi cerita di forum orang super dalam keindahan hari ini :

Siang ini 6 februari 2008 tanpa sengaja saya bertemu dua manusia super. Mereka mahluk mahluk kecil, kurus kumal berbasuh keringat. Tepatnya diatas jembatan penyeberangan setiabudi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun mejajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam.

Saat menyebrang untuk makan siang, mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk jakarta, saya hanya mengangkat tangan lebar lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “terima kasih om..”. saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk kearah mereka.

Kaki kaki kecil mereka menjelajah jalur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tatap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itupun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetep teronggok disudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, duapertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayut langit Jakarta.

“terima kasih ya mbak, semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas memreka, tak lama setelah si wanita meogoh wasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“maaf, nggak ada kembaliannya...ada uang pas nggak mbak?”. Mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“om boleh tukar uang nggak? Receh sepuluh ribuan?” suaranya menggingatkan kepada anak lelaki sayang yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian foodcourt sebesar empat ribu rupiah. “enggak punya,” tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya kearah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggam saya yang masih tetap berenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak dia bilang “sudah buat kamu saja, nggak papa ambil saja!” namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “maaf mbak, Cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan”. Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya.

Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya.
Mereka menghampiri saya dan berujar, “om bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ketukang ojek!”. “eeh nggak usah..nggak usah..biar aja, nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, dia menerimanya tapi terus berlali kebawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh temannya “nanti dulu om, biar ditukar dulu sebentar”. “nggak apa-apa. Itu buat kalian” lanjut saya. “jangan om, itu uang om sama mbak yang tadi juga “. Anak itu bersikeras. “sudah saya ikhlas mbak tadi juga pasti ikhlas! Saya berusaha mem-bargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari keujung jembatan berterak memanggil temannya untuk segera cepat, secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlalri ke arah saya. “ini deh om, kalau kelamaan maap”, ia memberi saya delapan pack tissue. “buat
apa?” saya terbengong. “habis teman saya lama sih om, maaf, tukar pakai tissue saja dulu” walau dikembalikan
ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saaat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu dan mengambil tissue dari tangan sayaserta memberikan uang empat ribu rupiah.

“terima kasih om!” mereka kembali keujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan “duit mbak tadi gimana?” suara kecil yang satu menyahut “ lu hafal orangnya, lain kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin...”. percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali kekantor dengan seribu perasaan.

Tuhan... hari ini saya belajar dari 2 MANUSIA SUPER; kekuatan, kepribadian mereka menaklukkan jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tap hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdangan tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan diumur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONOURABLE AS WHAT YOU DO.

Saya membandingkan keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikitpun berkurang rizki, kita musti dalam
rizki itu sebetulnya ada milik orang lain.

“usia memang tidak menjamin kita menjadi Bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau
tidak.”

Semoga pengalaman nyata ini mampu menggugah saya dan teman lainnya untuk lebih SUPER..

artikel from : yahoo milist, fwd by : tikawuland
ilustrasi from : http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/mohiqbal/files/2007/04/selisik-anak-jalanan.gif

* * * * * * * * * * * * *
Ya Allah... Inikah Generasi Pengganti generasi kami yang sudah "bobrok" dan diambang kehancuran ???
Atau mereka Kau kirimkan untuk contoh bagi kami ???
* * * * * * * * * * * * *

Tuesday, November 06, 2007

Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya b arulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hid up tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu da n beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah,hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melaluipola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?".

"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanl ah nilai qona'ah, ridha dan syukur". Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktu saya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya. Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy. Allah mengingatkan saya kembali:

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261).


#Yahoo Milist
#Semoga diri ini bisa bersyukur atas segala apa yang telah Allah berikan, aamiin...

Thursday, May 03, 2007

Jagalah Istri

Jagalah istri jangan kau sakiti
taatnya istri nutrisi dakwah ini
pesona istri cahaya surgawi
doanya istri tangisan bidadari

Bila istri ahli doa
suami tambah cintanya
anak anak cerdas semua
keluarga sejahtera

Istri yang cinta dunia
suami kurang wibawa
anak anak kena narkoba
keluarga jauh agama

Bila istri jaga hati
suami percaya diri
anak2 berprestasi
menjadi mukmin sejati

Tapi bila istri marah
hati suami jadi gerah
kerjanya tiada terarah
hutangnya jadi melimpah

Bila sang istri beriman
suami merasa aman
kerjanya jadi brilian
ibadah terasa nyaman

Jalan rizki jadi gampang
hidup sulit tetap riang
sang istri elok di pandang
walaupun hutang sekeranjang

Jagalah suami jangan kau sakiti
ridhonya suami jadi ridho Ilahi
doakan suami saat jihad menanti
ikhlaskan suami... saat menikah lagi [bukan mas loh ^_^]

# gondes

Saturday, March 24, 2007

25-th



25 tahun silam
seorang bayi laki2 lahir ke dunia
dengan pertaruhan nyawa
di sebuah rs di jakarta
budi kemuliaan namanya

itulah diriku...



Teringat dengan coretanku ketika usiaku 24 tahun...
dan kini usia 24 berlalu sudah...
lalu... ???
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...
Alhamdulillah...

Itulah kalimat yang [semoga] senantiasa melantun dalam hatiku
walau tak terucap dengan lisanku
karena...
Alhamdulillah... [lagi2 ku tak bisa lepas dari kalimat ini...]
beberapa bulan lalu...
telah kupenuhi separuh agamaku...
telah kutemukan bidadari dunia-akhiratku [insyaAllah]...
telah kujemput permaisuriku...
telah sempurna separuh dienku...
Alhamdulillah...

Ku berharap...
semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang...
senantiasa mengasihi dan menyayangi diriku, istri dan anak2ku [kelak...]
senantiasa menghulurkan "tangan-Nya" memapah ku tuk tetap di "jalan-Nya"...
pula memaafkan segala alpa dan lupa ku...
hingga dengan rahmat-Nya pula, Ia ijinkan ku menuntun istri dan anakku...
mengetuk pintu jannah-Nya...

Allahumma aamiin...

hari ke-2 kelahiranku, 25 tahun silam